Selasa, 11 Maret 2014

Elegi Sang Loranthus


"Aku adalah salah satu ciptaan sang mahakuasa yang dianugerahkan hidup. Panggil saja aku, Loranthus. Sang mahasuci juga menitipkan rasa yang begitu suci padaku, namun terkadang ia menjelma bak bisa yang mematikan..."

Fajar membelah temaram langit subuh. Kicau burung bersahutan menyambut pagi. Embun berlarian mengepak sisa pesta semalam. Ia tak lupa mencumbu stomata dedaunan. Sepoi masih tidur nyenyak, ia masih kelelahan setelah bermabuk-mabukan dengan purnama semalaman suntuk.

Senyum mentari mulai tampak di antara dedaunan. Ia mengintip perlahan. Kicau burung makin riuh bersahutan memenuhi pendengaran, sang embun kini bergelantungan di pucuk-pucuk dedaunan dan pucuk-pucuk rerumputan. Sesekali ia menari memancarkan spektrum cahaya serupa kilau pelangi.

Aku menikmati riuhnya pagi pada dahan tempatku berdiri sekarang - tangkai pohon Jati yang begitu rindang. Dari kejauhan aku tersenyum menikmati harmoni pagi, sesekali mengintip mentari yang mulai meninggi. "Andaikan ku ada di sana, bermain bersama embun, burung, dan pucuk-pucuk basah itu" pikirku. Bukan kali pertama rayuan itu datang menyapa meski aku telah mengubur kata "andaikan dan keluarganya - seandainya, jika saja, andai kata". Setiap ia datang, maka bergegaslah aku mengusirnya dan menepisnya jauh-jauh.

Meski mereka dapat menikmati hijaunya daun, menikmati indahnya bunga - perpaduan merah, kuning, dan hijau - yang ku genggam, namun terkadang rasa janggal tetap saja mengganjal. Ada rasa yang sesekali berkoar, memberontak ingin melepaskan segala kutukan itu. Rasa memang begitu suci, namun ia kan menjelma menjadi bisa tatkala mata tak sanggup menatap warna, dan hati tak mampu lagi mengeja keindahan.

Memang aku tak pernah berpikir tuk menjadi Cemara yang menjulang menembus langit dengan daun jarumnya yang menghijau. Cukup menjadi Kers (Pranus Ceracus) itu lebih dari cukup. Meski tumbuh secara liar dengan batang sederhana, namun ia menjadi tempat yang nyaman bagi sang Kolibri (burung pengisap madu) untuk bermain atau sesekali menikmati buah kecil yang bergelantungan di ujung rerantingnya. Tapi, mungkinkah semua akan berakhir seindah itu?

Asaku berlarian, ia berlarian menuju lagit kelam. Semua tampak abu-abu.

Kini sepoi terbangun, ia beranjak dan mengejar sang embun yang kian menghilang tersapu terik mentari pagi. Hawa sejuk pun kembali terpancar. Ia membuyarkan lamunanku, menetralkan rasa yang mulai bertahta dalam asa.

"Mungkin suatu saat Tuhan kan memberi keajaiban, mengubahku menjadi sebatang pohon tanpa nama, atau mungkin aku kan tetap menjadi Loranthus. Namun yang pasti, Tuhan tak pernah menciptakan sesuatu tanpa makna, begitu pun Aku..."

#TM (10 Maret '14)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar