Senin, 10 Maret 2014

Aku, Bukan Aku

"Hal yang paling indah adalah ketika jiwa dapat menerima raga dengan segala bentuknya, menjadikan kekurangan raga adalah kelebihan baginya"


Semilir sepoi senja mulai berhembus. Seperi biasa, malas adalah sahabat sejati bagi Tirta kalau jam segini, Jam 4.00 Wita. Ia langsung membaringkan badannya yang minta rihat setelah melepas pakaian kerjanya.

"Huuuuuuuuuhhhhh, hari ini terasa berat dari biasanya" ucapnya sambil meraih sahabat yang selalu berkicau di pikirannya sedari tadi. Memang banyak yang bilang kepadanya kalau ia tak dapat hidup tanpa handphone-nya, tapi ia sangat beruntung karena penyakitnya paham betul karakter Tirta - tak kepikiran handphone saat kerja, kecuali kalau lagi bad mood aja.


Sudah 10 menit ia mengecek handphone-nya namun tak ada pesan yang masuk. Sebenarnya tidak tahu pesan siapa yang ia tunggu. Memang tak ada yang spesial dalam hubungannya dengan orang lain, hanya sebatas teman saja. Namun, ia selalu menanti sapaan, mungkin hanya sebatas say hellow aja atau bahkan pesan BC (broadcast) dari temannya itu bisa menjadi awal munculnya pembicaraan.


"Yah,,,,FB,Twitter, BBM kok pada sepi?? Bintang merah di kolom pemberitahuan juga tak kunjung tiba" pikirnya.


Waktu terus berlalu, Tirta pun pulang balik dari satu aplikasi sosmed ke sosmed lain, namun tak menemui yang ia cari. Pikirannya tertuju pada rutinitasnya yang begitu gilang-gemilang di mata orang. Seperti ada yang mengganjal dalam pikirannya. Sesuatu yang begitu berat sedang berkecamuk dalam benaknya. Ia memang begitu pandai memanage pikirannya (istilah yang ia cap untuk dirinya sendiri). Tak ada yang dapat membaca dengan fasih hal yang ia alami. Ia tak pernah cerita kepada orang lain tentangnya. Hanya sajak-sajak patah yang ia posting di wall atau TL (Time Line) sosmednya yang bisa mewakili sedikit tentang kisahnya. Baginya, yang paham dirinya adalah jiwanya sendiri dan sang pencipta jiwa dan raganya.


Pikirannya semakin jauh dan ia pun mulai timbul tenggelam dalam pergolakan rasa yang ia ciptakan sendiri. Seruan demi seruan bersahutan. Seperti pergolakan angin dan hujan, seruan itu pun kian berkoar. Ia merasa ada sesuatu yang hilang dari rupanya. Ia kembali berkaca pada masa lalunya dan meraba jiwanya, namun ada sesuatu yang tak ia temui lagi. Ia telah memudar atau memang telah pergi. 


Semakin dalam ia meraba jiwanya, semakin banyak ketimpangan yang ia temukan, banyak yang tak berada pada posisinya lagi. Pergolakan rasa yang ia cipta makin hebat. "Ah,,,,aku tak mau larut dan tenggelam dalam dunia ini". 


Namun, semua di luar batas kuasanya. Pikirannya semakin leluasa, ia bertakhta atasnya. Kisah kupu-kupu tak bersayap yang selalu ia kumandangkan tiba-tiba kembali menyapa. Ia hanya tersenyum lesu. Pandangannya begitu nanar. Kini, kupu-kupu tak bersayap itu pun menjelma menjadi singa kecil yang tak bertaring.


"Ada-ada saja"

Mungkin ini adalah caranya bunuh diri perlahan-lahan.

Suara azan Magrib telah berkumandang. Tirta pun kembali dari dunia fantasinya. Kembali ia berpelukan dengan senja, berjabat dengan kelam yang kan membawnya ke dunia mimpi dan mempertemukannya dengan mentari pagi.



#TM (6 Maret 2014) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar