Senin, 29 Februari 2016

Penulis: Tuhan Atas Karyanya, jadi Menulislah untuk Keabadian


Menulislah untuk Keabadian

Keterampilan menulis merupakan salah satu jenis keterampilan yang selalu diajarkan di bangku sekolah. Beberapa orang, bahkan sebagian besar orang, mempelajari keterampilan menulis sebelum mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Manusia belajar menulis mulai dari membentuk garis yang menyerupai huruf hingga menyusun huruf-huruf itu menjadi kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, wacana, atau sebuah buku. Keterampilan menulis sangat erat kaitannya dengan keterampilan membaca, mendengar, melihat, dan berbagai keterampilan lainnya. Hal ini selalu didengungkan oleh guru bahasa Indonesia kita sejak SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
Seorang dosen Universitas Negeri Makassar pernah mengatakan bahwa penulis yang hebat adalah pembaca yang hebat.  Bahkan seorang penulis novel mengungkapkan bahwa untuk menuliskan satu paragraf, penulis yang hebat harus membaca puluhan buku. Jika ia ingin membuat sebuah buku, ia harus membaca ratusan buku (Liye, Novel Rindu). Jadi, keterampilan menulis ini sangat erat kaitannya dengan keterampilan membaca.
Sebenarnya, keterampilan menulis merupakan keterampilan untuk mengekspresikan secara tertulis gagasan, ide, pendapat, atau pikiran dan perasaan. Sarana untuk mewujudkan hal itu adalah bahasa. Isi ekspresi melalui bahasa akan dimegerti orang lain atau pembaca bila dituangkan dalam bahasa yang teratur, sistematis, sederhana, dan mudah dimengerti (Tarigan, 1995: 117). Untuk lebih mudah menyampaikan ide atau gagasan kepada orang lain, kita dapat menuangkannya dalam bentuk tulisan yang mudah dipahami.
Setiap orang memiliki persfektif atau pandangan yang berbeda tentang suatu objek atau masalah. Hal itu berpengaruh besar pada tulisan yang dibuatnya. Meski tema yang diangkat sama, namun setiap penulis dapat melihat dan mengupasnya dari sisi atau dari sudut pandang yang tidak sama. Semua bergantung kepada penulisnya. Tak heran jika sebagian pembaca mengatakan, “Penulis adalah tuhan atas karyanya”. Setiap orang diciptakan dan terlahir berbeda (unik) dari manusia lainnya. Mereka pun pasti memiliki rasa, impian, kisah, dan cerita yang berbeda. Bukan hanya itu. Manusia juga memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Cara untuk mengimbangi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki pun beragam. Kita tidak pernah tahu kisah atau cerita sesorang secarah pasti atau hakiki. Kita hanya bisa menebak, mengira, meski seseorang telah mengatakannya secara jelas. Hanya sang mahatahu yang mengetahuinya secara pasti. Kita hanya dititipi rasa itu, namun terkadang kita sendiri buram dengan maknanya.
Semua yang kita miliki akan hilang dan berganti. Begitu pun dengan pikiran, ide, gagasan. Namun dengan menuliskan ide atau kisah yang pernah kita alami, kita tidak akan kehilangan seutuhnya. Ia akan menjadi artefak, menjadi prasasti bahwa kita pernah ada. Dengan menuliskan kisah itu dan membagikannya, entah itu di media sosial seperti sekarang ini, entah itu dalam sebuah buku, maka kita telah menyimpannya dan menjaga keabadiaanya.
Tulisan tersebut akan menjadi bukti bahwa kita pernah ada. Ia akan diwariskan kepada orang tua, saudara, keluarga, dan semua orang yang telah membacanya. Setiap pikiran yang kita tuliskan memiliki pesan yang ingin disampaikan. Mungkin ada yang menyampaikannya secara tersurat (langsung), ada juga yang menyampaikannya secara tersirat (tak langsung). Tak peduli tulisan itu berisi kesedihan ataupun bercerita tentang kebahagian. Biarkan pembaca yang memaknani dan mengambil amanat dari sebuah tulisan.
Menurut Murti (2016), ada beberapa alasan seseorang menulis, yaitu: (1) membagi ilmu dengan orang lain, (2) meninggalkan jejak untuk orang lain, (3) menjadikan hidup lebih semangat, (4) menghimpun pahala, (5) membuat lebih percaya diri, (6) menyembuhkan dan menghambat penyakit, (7) menuangkan ide yang baik, (8) memperbaiki keadaan, (9) menambah pengetahuan, (10) menambah kreativitas, dan (11) menuangkan impian. Jadi, menulis memberi banyak manfaat.
Berbicara tentang menulis. ia memang pekerjaan yang gampang-gampang susah. Ide untuk menulis tidak datang setiap saat. Ide itu terkadang muncul dan pergi begitu saja. Untuk itu, setiap ide yang datang harus dituliskan karena jika dia pergi, ia tak pernah meninggalkan bekas, hilang.
Tere Liye (salah satu penulis produktif best seller Indonesia) pernah berkata, “Jangan pernah bertanya, ‘Di mana kita mendapatkan inspirasi untuk menulis?’ karena inspirasi untuk menulis itu dapat ditemukan dari mana saja.” Semua yang ada di muka bumi ini adalah inspirasi. Air, tanah, udara, dan cahaya matahari merupakan sumber inspirasi. Semua bergantung kepada kita, mau menuliskannya atau hanya menikmatinya melalui indera tanpa mengabadikannya dalam bentuk tulisan ataupun gambar. Kalau hanya menikmatinya melalui indera maka siap-siap mengucapkan, “Selamat tinggal” karena semuanya akan hilang, lupa.
Menulis memang tak semuadah teori yang disampaikan oleh orang-orang hebat ataupun tak semudah seperti yang saya tuliskan, tak semudah membalikkan telapak tangan. Sangat susah malah, terutama memulainya. Namun, setiap langkah yang besar pasti berawal dari langkah yang kecil. Seorang pelari yang hebat pasti memulai dari titik nol. Ia pernah mengalami fase kehidupan yang berjenjang. Ia tidak lahir dan langsung bisa berlari dengan gesitnya. Ia mengalami metamorfosis kehidupan, belajar merangkak, berdiri, berjalan, dan seterusnya.
Begitu halnya dengan menulis. kita harus selalu membesarkan diri sendiri. Semua penulis tak mungkin langsung menjadi penulis yang hebat. Kita harus memulai dengan menuliskan hal-hal yang ada dalam pikiran kita. Mungkin hanya dalam satu kata, satu frasa, satu kalimat, satu paragraf, hingga akhirnya nanti menjadi satu kisah yang utuh (satu buku atau beberapa buku). Jadi, mulailah menulis walau hanya satu kata.
Tulisan yang telah selesai bukan berati finish. Tulisan yang telah dipublikasikan bukan lagi milik kita sepenuhnya. Ada berbagai komentar pembaca tentang tulisan tersebut. Ada banyak tanggapan orang tentang tulisan kita, misalnya dianggap alay (berlebihan), baper-an (sensitif), dan berbagai komentar menjatuhkan lainnya. Begitu pula dengan sanjungan. Jangan mudah mabuk dengan sanjungan yang diberikan orang lain. Jangan pernah jadikan komentar itu sebagai racun, jadikan ia sebagai pupuk untuk menyuburkan kemampuan menulis di masa yang akan datang. Tetaplah belajar dalam semua tantangan dan kondisi yang ada. 
Percayalah kepada diri sendiri. Setiap kisah yang kita tuliskan adalah demi kebaikan. Ia akan bermanfaat kepada pembaca, cepat atau lambat. Tulisan bukan hanya sekadar prasasti, melainkan juga obat untuk menghilangkan ketimpangan yang ada, entah itu hanya sekadar menghibur (membuat pembaca tertawa) entah itu menginspirasi pembaca. Menulis untuk kesenangan, untuk hal positif, bukan untuk mengadu domba ataupun memecah belah kongsi apatah lagi untuk menjatuhkan orang lain.
Luruskan niat, perbaiki tekad. Hal postif akan selalu memberi nilai positif. Percaya pada hukum LOA (Law Of Attraction), apa yang engkau beri kepada alam, itu pula yang alam akan berikan kepada Anda. (#TM 28 Feb ’16)



Referensi:
Liye, Tere. 2014. Rindu (novel). Bandung: Republika.
Murti, Tendi. 2016. Komunitas Menulis Online Club 5 Kelas B (KMO Club 5/B). Via WhatsApp.

Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar