Guru, satu kata yang memiliki
berjuta makna. Guru merupakan sosok yang bisa digugu dan ditiru. Itu ungkapan yang sangat sering didengar. Namun
sejatinya bukan hanya itu, guru harus menjadi publik figur sekaligus model, contoh,
teladan, dan orang yang paling menyenangkan bagi siswanya. Menjadi seorang guru
memang memiliki tanggung jawab yang berat. Harus menjadi sosok sempurna bagi
siswanya, meski sangat jelas bahwa tidak ada sosok yang sempurna, kecuali sang
mahasempurna – Tuhan yang Maha Esa.
Tugas seorang guru
bukan hanya mengajar, melainkan juga mendidik siswanya. Ki Hajar Dewantara,
tokoh pendidikan Indonesia, (dalam Feddin: 2011) mengungkapkan bahwa sistem
“pengajaran” dan “pendidikan” sangat berbeda. Menurutnya, pengajaran bersifat
memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan), sedangkan
pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir
dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Manusia merdeka adalah
manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak bergantung kepada orang
lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri.
Artinya, sistem pendidikan itu mampu
menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani berpikir sendiri.
Menjadi seorang guru
pasti memiliki tantangan tersendiri. Bukan hanya masalah kognitif (pengetahuan),
melainkan juga psikomotorik (aplikasinya) dalam dunia nyata, bahkan afektif
(sikap/perilaku) di lingkungan pendidikan dan masyarakat. Seorang guru harus
meluaskan hatinya, lebih luas dari samudera. Setiap hari ia harus berhadapan
dengan berbagai macam karakter. Suka tidak suka, seorang guru harus menghadapi
semua karakter tersebut – berdamai dengan semua karakter. Itulah tantangan
pertama dan utama seorang guru. Walaupun tak dapat dipungkiri masih ada sederet
siswa yang antusias, serius, dan semangat belajar yang memang menjadi idaman dan impian seorang
guru.
Ada beberapa siswa yang
menjadikan sekolah sebagai pelarian, tempat mereka mencari perhatian kasih
sayang. Ironisnya, meski seorang guru tahu hal itu, terkadang guru abai akan
hal itu dengan alibi ingin menyelasikan materi (kompetesi dasar) yang telah
digariskan dalam kurikulum. Di sinilah peran utama guru sangat dibutuhkan – memahamkan
materi dan menanamkan karakter.
Awalnya, sebagai guru
pemula memang harus beradaptasi, seakan meregang nyawa untuk mengerti dan
memahami siswa. “Bukannya siswa yang
harus mengerti dan memahami pelajaran yang diberikan?” pertanyaan itu
sering menyeruak. Namun, semua harus terus berjalan sembari belajar tentang
hakikat mengajar dan mendidik yang sebenarnya. Guru juga adalah pembelajar,
bukan hanya siswa. Siswa belajar menemukan makna hidup (melalui materi ajar)
dan guru belajar memaknai kehidupan kebersamaan siswa.
Hari berganti, tahun
ajaran pun berganti. Namun, selalu saja muncul karakter yang sama (lulus satu,
muncul seribu), susah diatur dan cenderung melanggar aturan dan seolah acuh tak
acuh dengan pelajaran – hidup segan, mati pun enggan. Seorang guru harus
melapangkan hati. Belajar memahami mereka, lebih tepatnya belajar memahami diri
sendiri. Membenci mereka berarti membenci diri sendiri – karena tak mampu
mengubah mereka (Tere Liye: 373). Jangan merusak hari dengan merusak hari
mereka. Hal ini, tidak berarti seorang guru membiarkan mereka bertindak seenak
perut. Tidak. Guru harus membimbing mereka secara perlahan untuk melangkah
bersama dalam koridor (aturan) yang telah disepakati bersama. Membiarkan mereka
tertawa, terbahak, dan merajuk pun adalah sebuah kebahagiaan – selama semuanya
masih dalam alur yang telah ditentukan.
Sangatlah benar,
bahagia itu tak ditentukan oleh orang lain. Kitalah yang memegang kemudi
kebahagiaan kita. Sebesar apa pun gelombang yang menerpa perjalanan kita kalau
hati lebih luas dan lebih lapang dari samudera, ia tak akan mengikis bibir hati
dan membuat hidup kita karam. Biarlah Tuhan yang memeluk mereka, meniupkan
pemahaman baik kepada mereka hingga kelak mereka akan menjadi seperti apel emas
dalam dongeng-dongeng tetua dahulu.
Memdidik memang proses
yang begitu panjang – butuh kesabaran. Kelak jika semua siswa telah menjadi apel emas, percayalah ia tak lepas dari
campur tangan Tuhan dan kelapangan hati sang guru. Tetaplah mendidik dengan hati
yang ikhlas, lapang, dan pantang menyerah. Tuliskan semua kisah inspiratif itu
dalam buku karena buku adalah salah satu cara mengabadikan pikiran dan menyebarkannya.
Ucapankan terima kasih yang tak terhingga kepada sang pencipta, sepasang
bidadari – kedua orang tua, dan kaum kerabat yang tida henti mendukung langkah
ibadah itu. Mendidik adalah amal jariah – amal yang tak terputus pahalanya
sampai akhir zaman.
(Esai ini dibuat untuk mendapatkan beasiswa pelatihan disiplin positif oleh Kampus Guru Cikal pada 29-30 Januari 2016)
Referensi:
Feddin,
Adiena. 2011. “Pandangan Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan di Indonesia”.
(online). Diakses pada Rabu, 20 Januari 2016. http://adiens-production-kuningan.blogspot.co.id/2011/11/pandangan-ki-hajar-dewantara-tentang.html
Liye,
Tere. 2014. Rindu (novel). Bandung:
Republika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar