Senin, 29 Februari 2016

Mendidik: Melapangkan Hati, Mengukir Amal Jariah



Guru, satu kata yang memiliki berjuta makna. Guru merupakan sosok yang bisa digugu dan ditiru. Itu ungkapan yang sangat sering didengar. Namun sejatinya bukan hanya itu, guru harus menjadi publik figur sekaligus model, contoh, teladan, dan orang yang paling menyenangkan bagi siswanya. Menjadi seorang guru memang memiliki tanggung jawab yang berat. Harus menjadi sosok sempurna bagi siswanya, meski sangat jelas bahwa tidak ada sosok yang sempurna, kecuali sang mahasempurna – Tuhan yang Maha Esa.
Tugas seorang guru bukan hanya mengajar, melainkan juga mendidik siswanya. Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, (dalam Feddin: 2011) mengungkapkan bahwa sistem “pengajaran” dan “pendidikan” sangat berbeda. Menurutnya, pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan), sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Manusia merdeka adalah manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak bergantung kepada orang lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya,  sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani berpikir sendiri.
Menjadi seorang guru pasti memiliki tantangan tersendiri. Bukan hanya masalah kognitif (pengetahuan), melainkan juga psikomotorik (aplikasinya) dalam dunia nyata, bahkan afektif (sikap/perilaku) di lingkungan pendidikan dan masyarakat. Seorang guru harus meluaskan hatinya, lebih luas dari samudera. Setiap hari ia harus berhadapan dengan berbagai macam karakter. Suka tidak suka, seorang guru harus menghadapi semua karakter tersebut – berdamai dengan semua karakter. Itulah tantangan pertama dan utama seorang guru. Walaupun tak dapat dipungkiri masih ada sederet siswa yang antusias, serius, dan semangat belajar yang  memang menjadi idaman dan impian seorang guru.
Ada beberapa siswa yang menjadikan sekolah sebagai pelarian, tempat mereka mencari perhatian kasih sayang. Ironisnya, meski seorang guru tahu hal itu, terkadang guru abai akan hal itu dengan alibi ingin menyelasikan materi (kompetesi dasar) yang telah digariskan dalam kurikulum. Di sinilah peran utama guru sangat dibutuhkan – memahamkan materi dan menanamkan karakter.
Awalnya, sebagai guru pemula memang harus beradaptasi, seakan meregang nyawa untuk mengerti dan memahami siswa. “Bukannya siswa yang harus mengerti dan memahami pelajaran yang diberikan?” pertanyaan itu sering menyeruak. Namun, semua harus terus berjalan sembari belajar tentang hakikat mengajar dan mendidik yang sebenarnya. Guru juga adalah pembelajar, bukan hanya siswa. Siswa belajar menemukan makna hidup (melalui materi ajar) dan guru belajar memaknai kehidupan kebersamaan siswa.
Hari berganti, tahun ajaran pun berganti. Namun, selalu saja muncul karakter yang sama (lulus satu, muncul seribu), susah diatur dan cenderung melanggar aturan dan seolah acuh tak acuh dengan pelajaran – hidup segan, mati pun enggan. Seorang guru harus melapangkan hati. Belajar memahami mereka, lebih tepatnya belajar memahami diri sendiri. Membenci mereka berarti membenci diri sendiri – karena tak mampu mengubah mereka (Tere Liye: 373). Jangan merusak hari dengan merusak hari mereka. Hal ini, tidak berarti seorang guru membiarkan mereka bertindak seenak perut. Tidak. Guru harus membimbing mereka secara perlahan untuk melangkah bersama dalam koridor (aturan) yang telah disepakati bersama. Membiarkan mereka tertawa, terbahak, dan merajuk pun adalah sebuah kebahagiaan – selama semuanya masih dalam alur yang telah ditentukan.
Sangatlah benar, bahagia itu tak ditentukan oleh orang lain. Kitalah yang memegang kemudi kebahagiaan kita. Sebesar apa pun gelombang yang menerpa perjalanan kita kalau hati lebih luas dan lebih lapang dari samudera, ia tak akan mengikis bibir hati dan membuat hidup kita karam. Biarlah Tuhan yang memeluk mereka, meniupkan pemahaman baik kepada mereka hingga kelak mereka akan menjadi seperti apel emas dalam dongeng-dongeng tetua dahulu.
Memdidik memang proses yang begitu panjang – butuh kesabaran. Kelak jika semua siswa telah menjadi apel emas, percayalah ia tak lepas dari campur tangan Tuhan dan kelapangan hati sang guru. Tetaplah mendidik dengan hati yang ikhlas, lapang, dan pantang menyerah. Tuliskan semua kisah inspiratif itu dalam buku karena buku adalah salah satu cara mengabadikan pikiran dan menyebarkannya. Ucapankan terima kasih yang tak terhingga kepada sang pencipta, sepasang bidadari – kedua orang tua, dan kaum kerabat yang tida henti mendukung langkah ibadah itu. Mendidik adalah amal jariah – amal yang tak terputus pahalanya sampai akhir zaman.

(Esai ini dibuat untuk mendapatkan beasiswa pelatihan disiplin positif oleh Kampus Guru Cikal pada 29-30 Januari 2016)

Referensi:
Feddin, Adiena. 2011. “Pandangan Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan di Indonesia”. (online). Diakses pada Rabu, 20 Januari 2016. http://adiens-production-kuningan.blogspot.co.id/2011/11/pandangan-ki-hajar-dewantara-tentang.html

Liye, Tere. 2014. Rindu (novel). Bandung: Republika.

Penulis: Tuhan Atas Karyanya, jadi Menulislah untuk Keabadian


Menulislah untuk Keabadian

Keterampilan menulis merupakan salah satu jenis keterampilan yang selalu diajarkan di bangku sekolah. Beberapa orang, bahkan sebagian besar orang, mempelajari keterampilan menulis sebelum mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Manusia belajar menulis mulai dari membentuk garis yang menyerupai huruf hingga menyusun huruf-huruf itu menjadi kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, wacana, atau sebuah buku. Keterampilan menulis sangat erat kaitannya dengan keterampilan membaca, mendengar, melihat, dan berbagai keterampilan lainnya. Hal ini selalu didengungkan oleh guru bahasa Indonesia kita sejak SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.
Seorang dosen Universitas Negeri Makassar pernah mengatakan bahwa penulis yang hebat adalah pembaca yang hebat.  Bahkan seorang penulis novel mengungkapkan bahwa untuk menuliskan satu paragraf, penulis yang hebat harus membaca puluhan buku. Jika ia ingin membuat sebuah buku, ia harus membaca ratusan buku (Liye, Novel Rindu). Jadi, keterampilan menulis ini sangat erat kaitannya dengan keterampilan membaca.
Sebenarnya, keterampilan menulis merupakan keterampilan untuk mengekspresikan secara tertulis gagasan, ide, pendapat, atau pikiran dan perasaan. Sarana untuk mewujudkan hal itu adalah bahasa. Isi ekspresi melalui bahasa akan dimegerti orang lain atau pembaca bila dituangkan dalam bahasa yang teratur, sistematis, sederhana, dan mudah dimengerti (Tarigan, 1995: 117). Untuk lebih mudah menyampaikan ide atau gagasan kepada orang lain, kita dapat menuangkannya dalam bentuk tulisan yang mudah dipahami.
Setiap orang memiliki persfektif atau pandangan yang berbeda tentang suatu objek atau masalah. Hal itu berpengaruh besar pada tulisan yang dibuatnya. Meski tema yang diangkat sama, namun setiap penulis dapat melihat dan mengupasnya dari sisi atau dari sudut pandang yang tidak sama. Semua bergantung kepada penulisnya. Tak heran jika sebagian pembaca mengatakan, “Penulis adalah tuhan atas karyanya”. Setiap orang diciptakan dan terlahir berbeda (unik) dari manusia lainnya. Mereka pun pasti memiliki rasa, impian, kisah, dan cerita yang berbeda. Bukan hanya itu. Manusia juga memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Cara untuk mengimbangi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki pun beragam. Kita tidak pernah tahu kisah atau cerita sesorang secarah pasti atau hakiki. Kita hanya bisa menebak, mengira, meski seseorang telah mengatakannya secara jelas. Hanya sang mahatahu yang mengetahuinya secara pasti. Kita hanya dititipi rasa itu, namun terkadang kita sendiri buram dengan maknanya.
Semua yang kita miliki akan hilang dan berganti. Begitu pun dengan pikiran, ide, gagasan. Namun dengan menuliskan ide atau kisah yang pernah kita alami, kita tidak akan kehilangan seutuhnya. Ia akan menjadi artefak, menjadi prasasti bahwa kita pernah ada. Dengan menuliskan kisah itu dan membagikannya, entah itu di media sosial seperti sekarang ini, entah itu dalam sebuah buku, maka kita telah menyimpannya dan menjaga keabadiaanya.
Tulisan tersebut akan menjadi bukti bahwa kita pernah ada. Ia akan diwariskan kepada orang tua, saudara, keluarga, dan semua orang yang telah membacanya. Setiap pikiran yang kita tuliskan memiliki pesan yang ingin disampaikan. Mungkin ada yang menyampaikannya secara tersurat (langsung), ada juga yang menyampaikannya secara tersirat (tak langsung). Tak peduli tulisan itu berisi kesedihan ataupun bercerita tentang kebahagian. Biarkan pembaca yang memaknani dan mengambil amanat dari sebuah tulisan.
Menurut Murti (2016), ada beberapa alasan seseorang menulis, yaitu: (1) membagi ilmu dengan orang lain, (2) meninggalkan jejak untuk orang lain, (3) menjadikan hidup lebih semangat, (4) menghimpun pahala, (5) membuat lebih percaya diri, (6) menyembuhkan dan menghambat penyakit, (7) menuangkan ide yang baik, (8) memperbaiki keadaan, (9) menambah pengetahuan, (10) menambah kreativitas, dan (11) menuangkan impian. Jadi, menulis memberi banyak manfaat.
Berbicara tentang menulis. ia memang pekerjaan yang gampang-gampang susah. Ide untuk menulis tidak datang setiap saat. Ide itu terkadang muncul dan pergi begitu saja. Untuk itu, setiap ide yang datang harus dituliskan karena jika dia pergi, ia tak pernah meninggalkan bekas, hilang.
Tere Liye (salah satu penulis produktif best seller Indonesia) pernah berkata, “Jangan pernah bertanya, ‘Di mana kita mendapatkan inspirasi untuk menulis?’ karena inspirasi untuk menulis itu dapat ditemukan dari mana saja.” Semua yang ada di muka bumi ini adalah inspirasi. Air, tanah, udara, dan cahaya matahari merupakan sumber inspirasi. Semua bergantung kepada kita, mau menuliskannya atau hanya menikmatinya melalui indera tanpa mengabadikannya dalam bentuk tulisan ataupun gambar. Kalau hanya menikmatinya melalui indera maka siap-siap mengucapkan, “Selamat tinggal” karena semuanya akan hilang, lupa.
Menulis memang tak semuadah teori yang disampaikan oleh orang-orang hebat ataupun tak semudah seperti yang saya tuliskan, tak semudah membalikkan telapak tangan. Sangat susah malah, terutama memulainya. Namun, setiap langkah yang besar pasti berawal dari langkah yang kecil. Seorang pelari yang hebat pasti memulai dari titik nol. Ia pernah mengalami fase kehidupan yang berjenjang. Ia tidak lahir dan langsung bisa berlari dengan gesitnya. Ia mengalami metamorfosis kehidupan, belajar merangkak, berdiri, berjalan, dan seterusnya.
Begitu halnya dengan menulis. kita harus selalu membesarkan diri sendiri. Semua penulis tak mungkin langsung menjadi penulis yang hebat. Kita harus memulai dengan menuliskan hal-hal yang ada dalam pikiran kita. Mungkin hanya dalam satu kata, satu frasa, satu kalimat, satu paragraf, hingga akhirnya nanti menjadi satu kisah yang utuh (satu buku atau beberapa buku). Jadi, mulailah menulis walau hanya satu kata.
Tulisan yang telah selesai bukan berati finish. Tulisan yang telah dipublikasikan bukan lagi milik kita sepenuhnya. Ada berbagai komentar pembaca tentang tulisan tersebut. Ada banyak tanggapan orang tentang tulisan kita, misalnya dianggap alay (berlebihan), baper-an (sensitif), dan berbagai komentar menjatuhkan lainnya. Begitu pula dengan sanjungan. Jangan mudah mabuk dengan sanjungan yang diberikan orang lain. Jangan pernah jadikan komentar itu sebagai racun, jadikan ia sebagai pupuk untuk menyuburkan kemampuan menulis di masa yang akan datang. Tetaplah belajar dalam semua tantangan dan kondisi yang ada. 
Percayalah kepada diri sendiri. Setiap kisah yang kita tuliskan adalah demi kebaikan. Ia akan bermanfaat kepada pembaca, cepat atau lambat. Tulisan bukan hanya sekadar prasasti, melainkan juga obat untuk menghilangkan ketimpangan yang ada, entah itu hanya sekadar menghibur (membuat pembaca tertawa) entah itu menginspirasi pembaca. Menulis untuk kesenangan, untuk hal positif, bukan untuk mengadu domba ataupun memecah belah kongsi apatah lagi untuk menjatuhkan orang lain.
Luruskan niat, perbaiki tekad. Hal postif akan selalu memberi nilai positif. Percaya pada hukum LOA (Law Of Attraction), apa yang engkau beri kepada alam, itu pula yang alam akan berikan kepada Anda. (#TM 28 Feb ’16)



Referensi:
Liye, Tere. 2014. Rindu (novel). Bandung: Republika.
Murti, Tendi. 2016. Komunitas Menulis Online Club 5 Kelas B (KMO Club 5/B). Via WhatsApp.

Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis: Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Minggu, 28 Februari 2016

Bertahanlah


Terkadang hati begitu membenci maya
Ia hanya memberi ruang kosong, tak berwajah
Namun, hati terkadang berucap syukur
Dengannya, kosong tak lagi hampa
Meski hanya permainan imaji
Hati tak mungkin berdiam, membisu
Ia tak dapat membiarkan asa sendiri
Rasa begitu setia bersamanya
Ini hanya kisah klasik
Tak ada yang unik
Kecuali ...
Kau kan tetap tegar
Menggenggam; merangkul
Meski waktu berputar, berpilin
Mencari celah untuk membawamu pergi
Menghapus segala jejakmu

PepperEarth, 28 Februari 2016


Ikrar

Berharap ikrar kan melahirkan kreativitas. Mengubah asa dan rasa menjadi karsa dan nyata, bukan hanya sekadar maya dan imaji semata.
"Menulis untuk Keabadian"
Tendi Murti, Sulistiawati Fauzi, Aem Dewe, Marita Maharani, Tuty Daswisaptri, Siti Nur Endah, Titi Nurmala Kekenusa, Lisa NA, Vania Utami Putri, Yayuk Prihidayanti, Kirana Iswara, Novi Pratiwi Lestari, Siti Aminah, Rusyan Fikri, Suci Claudia, dan Rivanto Irvan.
#TM
#KMO2016
#5B10
#SemangatAll

Rabu, 24 Februari 2016

Ujung Senja

Senja memang tak pernah datang sendiri..
Namun, ia pamit hanya sendiri..
Ia selalu menitipkan rasa itu padaku
Meski tak ku kenali rupanya
Tapi, mengapa hati begitu peka
Rindu...
Ia memang tak bertuan
Entah ke mana ia kan bermuara...

Jumat, 12 Februari 2016

Senja

Senja
Guratan rasa setiap hadirmu tak terbendung
Ada berjuta imaji yang ingin tercurah
Namun, takkan pernah ada pemahaman
Meski sepoi datang dengan lembutnya
Tak ada penerimaan untuknya
Biarkan ia kembali pada Maha memiliki
Karena hanya pada-Nya semua kan bermuara

Selasa, 09 Februari 2016

Bayangmu

Telah kutelusuri jejak-jejak senja
Hingga kutemui kaki malam
Namun, bayangmu tak kutemui di sana
Mungkin kau takkan pernah datang kembali
Seperti musim-musim kemarin
Kini biarkan gerimis membungkus kenangan itu
Melarungkannya ke laut lepas

#BumiNikel8Feb15

Pertemuan

Kalaupun aku tak sempat temuimu
Bersitatap dalam riang seperti kujanjikan kemarin
Setidaknya kini kita masih bisa bersua
Berbaur dalam cerita yang sama
Walau hanya lewat sepoi malam
Ku tahu ini tak cukup mengeringkan rindu
Justru ia membuatnya kian membuncah
Namun ketahuilah,,,
Kau Segalanya...

#Ibu

5 Feb 2015

Kamis, 04 Februari 2016

Engkau dan Malam

Tak peduli betapa kelamnya malam yang hanya berkawan pelita
Bibirmu tiada henti mengeja asma Allah

Matamu tetap jeli
Meski tatapanmu tak setajam dulu
Lantunanmu pun mulai terbath-batah
Jauh dari kata merdu
Namun, kau tak kenal lelah
Tak pernah patah arang

Sungguh aku bangga padamu
Entah kapan aku bisa sepertimu,
Ibu...

Sajak Pergantian Tahun

Apalah arti pergantian tahun
Jika hati dan pikiran masih berlabuh
Pada kenangan masa lalu

Apalah guna pergantian tahun
Jika raga masih saja tetap nyaman
Dengan kebiasaan buruk

Apalah makna pergantian tahun
Jika tak ada resolusi baru
Menuju kehidupan yang lebih baik

Desember 2015

Tentang Rindu Part II

Rinduku kemarin jelas samar dan hampa
Tak berwajah
Tak bertuan
Kelak, rindu ini kan nyata, lengkap, dan genap
#TM