Nenek Pakande
Alkisah
di suatu daerah di Soppeng (sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan), terdapat suatu
desa dengan rakyatnya sangat bersahabat, senantiasa hidup tentram, damai, dan
sejahtera. Hampir atau bahkan seluruh masyarakat yang tinggal di daerah itu
bermata pencaharian sebagai seorang petani. Setiap hari mereka
berbondong-bondong ke sawah untuk bertani di lahan mereka masing-masing. Pada
suatu ketika, desa yang terkenal tentram tersebut terusik oleh seorang nenek
tua yang rambutnya berwarna putih memakai konde di kepalanya, wajah yang
keriput, dengan badan yang setengah membungkuk, lalu memakai sarung batik dan
kemeja. Sekilas terlihat nenek itu hanyalah seorang nenek tua yang biasa-biasa
saja yang sedang mencari tempat tinggal.
Tapi
siapa yang menyangka bahwa nenek tua itu adalah seorang siluman yang suka
memangsa daging manusia, terlebihnya daging anak-anak. Dengan karakternya yang
dikenal seperti itu, maka warga setempat pun menamai nenek itu dengan sebutan
Nenek Pakande (diambil dari bahasa Bugis yaitu kata manre yang berarti makan).
Biasanya Nenek Pakande itu berkeliaran keliling kampung untuk mencari mangsa
pada hari ketika sang fajar sudah mulai tenggelam.
Suatu
sore saat hari sudah mulai gelap, ada sepasang saudara kakak beradik yang
tengah seru bermain di sekitar halaman rumah mereka.
“Nak,
ayo cepat masuk ke rumah ini sudah malam!” Seru ibunya dari balik pintu.
Akan
tetapi, kedua bersaudara itu sedikit pun tak menghiraukan apa yang diperintahkan
oleh ibunya dan kemudian kembali lagi bermain. Mereka hanya memanggap perintah
ibunya hanyalah angin yang berhembus begitu saja. Tidak lama kemudian, ibu dari
kedua anak itu pun sejenak menghampiri kedua anaknya dan menyuruhnya masuk,
tetapi kedua anak itu tetap saja membandel. Dan ibu itu pun kembali masuk ke
rumahnya dan membiarkan anak-anaknya bermain.
Tanpa
ibu itu menyadari bahwa anaknya sedang dipantau dari jarak jauh oleh Nenek
Pakande. Melihat suasana yang sangat sunyi, tak ada seorang pun yang berlalu-lalang
di sekitar tempat itu. Nenek Pakande mempergunakan waktu itu untuk menculik
kedua anak tersebut lalu dijadikannya mangsa.
Berselang
waktu kemudian, ibu dua orang anak tersebut keluar dan didapatinya kedua
anaknya sudah tak ada di tempatnya lagi. Lalu ia mencari ke seluruh penjuru
rumahnya tetapi ia tak menemukan anaknya sekali pun. Ia pun bergegas keluar
rumah sambil teriak minta tolong.
“Tolong…..tolong…..tolong…..
Anakku hilang!” dengan suara yang tersedu-sedu sambil menangis.
“Ada
apa Bu? Apa yang terjadi dengan anak Ibu?” sapa salah satu warga setempat.
Lalu
ibu itu pun menceritakan apa-apa yang telah terjadi dengan anak-anaknya kepada
bapak itu. Kemudian bapak itu segera memanggil warga untuk membantunya mencari.
Lambat laun pun warga sudah terkumpul banyak, siap untuk melakukan pencarian
menelusuri kampung-kampung dengan alat penerangan seadanya.
Hingga
larut malam pun tiba, kedua anak tersebut tak kunjung jua ditemukan. Akhirnya
kepala kampung yang memimpin pencarian tersebut meminta pencarian itu
dihentikan sementara.
Keesokan
harinya saat pencarian akan dilakukan kembali, tiba-tiba ada laporan dari
seorang warga yang kehilangan bayinya, ketika saat itu orang tua bayi tersebut
sedang tertidur nyenyak. Warga setempat pun semakin resah dengan kejadian yang
saat ini menimpa desa mereka.
Ketika
malam tiba, para orang tua tidak bisa menutup kedua kelopak matanya karena
dihantui rasa cemas. Mereka harus memantau anak-anak mereka serta menjaganya
hingga pagi menjemput.
Saat
para warga berkumpul di suatu titik di desa mereka, mereka menceritakan setiap
kekhawatiran yang mereka alami saat malam hari tiba. Mereka bingung, siapa
dalang di balik penculikan misterius ini.
Seketika
ada seorang warga yang mengusulkan untuk pergi ke rumah Nenek Pakande. Warga
setempat tahu bahwa Nenek Pakande adalah seorang pemangsa anak-anak.
“Kenapa
kita hanya berdiam diri saja di sini, kenapa kita tidak langsung saja
beramai-ramai ke rumah Nenek Pakande itu? Karena besar kemungkinan dia yang telah
menculik anak-anak yang ada di desa kita.”
“Hei,
bukankah Nenek Pakande itu adalah seseorang yang sangat sakti karena dia
memiliki kekuatan gaib yang sulit untuk ditaklukkan.” tentang salah seorang
warga lainnya.
“Ya
benar juga, Nenek Pakande adalah seorang siluman yang sangat sakti, tak ada
seorang manusia biasa pun yang bisa mengalahkan kesaktiannya. Setauku Nenek
Pakande hanya takut kepada sosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa
Rawo Ale. Tetapi sekarang entah di mana raksasa itu berada. Kabar serta seluk
beluk tubuhnya pun tak pernah lagi terdengar dan terlihat.” jawab seorang warga
lagi.
Raja
Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah sesosok raksasa yang tingginya diperkiran
tujuh hasta dengan badan yang sangat besar, dia juga suka memakan daging
manusia. Akan tetapi, dia adalah raksasa yang baik hati, hanya memakan manusia
yang bersifat buruk dan manusia yang tidak disukainya.
“Lantas
apa yang harus kita perbuat sekarang untuk memusnahkan Nenek Pakande itu?”
melanjutkan pertanyaan.
Tak
seorang pun dari mereka yang ingin angkat bicara, suasana saat itu tiba-tiba
menjadi diam, penuh kecemasan dan kekhawatiran, dan mereka kebingungan tentang
masalah itu.
Di
tengah-tengah kecemasan tersebut, seorang pemuda yang berdiri di tengah-tengah
sekumpulan warga pun angkat bicara. Pemuda tersebut bernama La Beddu, dia
adalah pemuda yang cerdik, pandai, lagi berani. Dia dikenal warga sebagai
pemuda yang ramah, taat beribadah, dan suka membantu orang yang sedang tertimpa
masalah.
“Maaf
para warga desa jika saya lancang, tapi saya punya suatu cara untuk
mengenyahkan Nenek Pakande dari desa kita.”
Suasana
pun menjadi hening seketika. Timbullah ribuan harapan yang tertimbun di dalam
diri setiap warga, tapi tidak sedikit pula warga yang memandangnya sebelah mata
dengan pandangan yang merendahkan karena mereka tidak yakin bahwa La Beddu bisa
mengalahkan Nenek Pakande.
“Hai
La Beddu, apa kuasamu? Kamu hanyalah pemuda biasa yang tidak memiliki kesaktian
sedikit pun dibandingkan dengan Nenek Pakande yang kesaktiannya sangat kuat.” jawab
seorang warga selaku merendahkan.
La
Beddu kemudian diam dan tersenyum dan melanjutkan pembicaraan dengan nada yang
tenang.
“Tidak
selamanya kesaktian harus dilawan dengan kesaktian pula. Kita sebagai manusia
diberi akal untuk berpikir.” jelas La Beddu.
“Apa
sekiranya maksudmu itu La Beddu? Apakah kamu tak takut sedikit pun dengan Nenek
Pakande?” tanya warga tersebut sekali lagi.
“Maksud
saya, kita bisa melawan Nenek Pakande tidak harus ketika kita memiliki
kesaktian yang kuat. Kita bisa melawannya dengan akal cerdik kita. Jika kita
saling bahu-membahu melawannya, yakinlah bahwa kita bisa mengenyahkannya. Maka
dari itu siapkan saya beberapa ekor belut dan kura-kura, salaga (garu), busa sabun satu ember, kulit rebung yang sudah
kering, dan sebuah batu besar. Setelah itu, kumpulkanlah semua hewan dan benda-benda
itu di rumah saya.” seru La Beddu.
“Untuk
apa hewan beserta benda-benda tersebut La Beddu?” tanya warga lainnya.
“Nantilah
kalian mengetahuinya setelah apa yang kuperintahkan telah terkumpul semua di
rumahku.” jawab La Beddu.
Seketika
pun warga membubarkan diri mereka masing-masing dan segera mencari apa yang
diperintahkan oleh La Beddu. Ada yang mencari belut di sawah-sawah, kura-kura
di sungai, dan yang lainnya sibuk membuat salaga
dan menyiapkan busa sabun satu ember. Setelah semuanya terkumpul, barulah
mereka menuju ke rumah La Beddu dan mengumpulkan semua apa yang telah
diperintahkannya.
“Hai
La Beddu, sekarang jelaskan kepada kami apa guna barang yang telah engkau
suruhkan kepada kami!” seru seorang warga.
La
Beddu pun kemudian menjelaskan apa guna dari barang-barang tersebut. Selaga akan dia jadikan menyerupai sisir
dan kura-kura sebagai kutu raksasa. Busa sabun ia akan jadikan menyerupai air
liur, kulit rebung sebagai terompet atau pembesar suara agar menyerupai suara
besar seorang raksasa. Adapun belut dan batu besar akan di tempatkan di depan
pintu dan di bawah tangga. Itu semua aku perintahkan agar kita bisa mengelabui
Nenek Pakande dengan menyamar sebagai raksasa.
Pada
siang hari, La Beddu beserta warga pun menyusun rencana untuk mengelabui Nenek Pakande. Dua orang utusan warga
diperintahkan untuk menaruh belut dan batu besar di depan pintu dan di bawah
tangga kemudian bersembunyi di bawah rumah panggung.
Setelah
matahari sudah mulai tak nampak lagi dan hari sudah mulai gelap, para warga
mengunci rapat-rapat pintu mereka dan memadamkan lampu pelita mereka. Ini
adalah sebagian dari rencana La Beddu karena ada sebuah rumah yang terletak
paling ujung di perkampungan mereka yang dinamakan Balla Raja, rumah itu adalah
rumah panggung yang sangat besar. Di rumah itu diberikan cahaya lampu yang
paling terang agar Nenek Pakande tersebut terpancing dan menuju ke rumah itu.
Salah satu umpan yang lain adalah di taruhnya anak bayi di dalam suatu kamar
tetapi dalam pengawasan ketat warga setempat. Sementara La Beddu bersembunyi di
atas genteng.
Malam
itu adalah malam Jumat, sinar rembulan sangat terang. Saat Nenek Pakande sudah
mulai berkeliaran, dia heran mengapa semua lampu tak ada satu pun yang menyala,
keculai rumah yang bernama Balla Raja. Nenek Pakande pun menghampiri rumah
tersebut. Beberapa saat kemudian setelah Nenek Pakande tiba di depan pintu yang
sangat besar, dia mencium aroma seorang bayi dari dalam rumah tersebut. Tanpa
berpikir panjang, Nenek Pakande pun masuk ke dalam rumah tersebut. Tanpa sepengetahuan Nenek Pakande, dua orang
pemuda tersebut melaksanakan tugasnya dan kembali bersembunyi. Ketika dia
berhadapan dengan pintu kamar yang sangat tinggi dan besar, Nenek pakande pun
semakin merasakan aroma bayi tersebut.
Seketika
muncullah suara misterius yang menyapa Nenek Pakande.
“Hei Nenek Pakande, apa gerangan yang membuat
engkau datang ke mari?” tanya La Beddu yang menyamar sebagai raksasa besar Raja
Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.
“Saya
ingin mengambil bayi yang ada dibalik pintu besar itu. Siapa kamu?” jawab Nenek
Pakande.
“Saya
Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale dan saya ingin kamu pergi dari desa ini
sejauh mungkin karena sudah meresahkan warga setempat.” ujar sang raksasa.
“Ahh,
saya tidak percaya jikalau kamu ada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.”
jawab Nenek Pakande dengan menambah beberapa langkah kakinya selaku
mengacuhkan.
La
Beddu pun menumpahkan seember busa sabun yang dipakainya untuk mengelabuhi
Nenek Pakande sebagai air liur raksasa. Lalu memperdengarkan suara mengaumnya.
“Aku
lapar Nenek Pakande, lihatlah air liurku sudah mengalir. Jika kau tak segera
enyah dari hadapanku, maka kau akan menjadi santapanku.”
Dengan
dihantui rasa cemas, Nenek Pakande pun berkata lagi, “Hihihi, saya tidak
percaya denganmu, pasti kamu hanyalah orang biasa yang menyamar sebagai Raja
Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.”
La
Beddu pun menjatuhkan salaga yang
dibuatnya menyerupai sisir yang besar dan kura-kura secara beruntun.
“Ah..
Kutu ini banyak menggangguku dan membuat kepalaku gatal saja.” kata Sang Pemuda
yang mengaum.
“
Nenek Pakande, kau jangan membuatku jadi lebih marah lagi.” lanjut La Beddu.
Melihat
kura-kura dan salaga yang jatuh ke
lantai, nyali Nenek Pakande akhirnya ciut juga.
Tanpa
menunggu lama, Nenek pakande pun lari menuju pintu keluar. Tanpa dilihatnya,
dia menginjak seekor belut dan terpeleset jatuh hingga anak tangga yang paling
akhir dan kepalanya terbentur pada batu besar yang telah disiapkan. Akan tetapi,
Nenek Pakande tetap memaksakan diri untuk bangkit kembali. Dengan kesaktiannya,
Nenek Pakande pun terbang ke bulan. Sebelum terbang ke bulan, Nenek Pakande
meninggalkan suatu pesan, “Saya akan memantau anak kalian dari atas sana dengan
cahaya rembulan di malam yang sangat gelap. Suatu saat nanti, saya akan kembali
memangsa anak-anak kalian.”
Maka
dari itu, orang tua sekarang banyak yang menasehati anaknya jangan keluar jika
sudah malam, nanti kalian di makan Nenek Pakande.