Minggu, 28 April 2019

35 Quotes Tere Liye dalam Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah



Sebuah kisah yang begitu apik dari pinggiran Kapuas, Pontianak, yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan. Tentang cinta sejati, persahabatan, ke-keluarga-an, tentang saudara yang taksedarah. Dalam novel-novelnya, Tere Liye selalu mengingatkan bahwa Tuhan adalah penulis skenario terbaik tentang hidup dan kehidupan dan sang manusia hanya butuh menerima.
Berikut quotes yang indah yang bisa menjadi petuah dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah.
Benci dan suka itu relatif. Lama-lama terbiasa, lama-lama jatuh cinta. Kalau perasaan saja bisa menyesuaikan diri begitu hebat, apalagi diri kita. (hlm. 23)
Jika kalian berurusan dengan mereka yang galak tanpa senyum, sapalah dia dengan menyebut namanya, bersahabat, maka urusan jadi gampang seketika. (hlm. 25)
Apapun pekerjaan kau jika dikerjakan dengan tulus, ia menjadi pekerjaan yang mulia. (hlm. 29)
Kau tahu apa yang bisa dengan segera membuat tampang kusut mencair seperti mentega lumer di penggorengan? Sederhana, kau bolak-balik sedikit saja hati kau. Sedikit saja, dari rasa dipaksa menjadi sukarela, dari rasa terhina menjadi dibutuhkan, dari rasa disuruh-suruh menjadi penerimaan. (hlm. 58 – 59)
Kau tahu, orang yang paling bersyukur di dunia ini adalah orang selalu makan dengan tamunya. sebaliknya, orang yang paling tidak tahu untung adalah yang selalu saja mengeluhkan makanan di hadapannya. (hlm. 121)
Perasaan adalah perasaan, meski secuil, walau setitik hitam di tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit, kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap padahal dunia sedang mendung, dan di kejap berikutnya mengubah harimu jadi buram padahal dunia sedang terang benderang. (hlm. 132)
Sembilan dari sepuluh kecemasan muasalnya hanyalah imajinasi kita. Dibuat-buat sendiri, dibesar-besarkan sendiri. (hlm. 133)
Kita tidak pernah tahu masa depan. Dunia ini terus berputar. Perasaan bertunas, tumbuh mengakar, bahkan berkembang biak di tempat yang paling mustahil dan tidak masuk akal sekalipun. Perasaan-perasaan kadang dipaksa tumbuh di waktu dan orang yang salah. (hlm. 146)
Masa muda adalah masa ketika kita bisa berlari secepat mungkin, merasakan perasaan sedalam mungkin tanpa perlu khawatir menjadi masalah. (hlm. 164)
Cinta itu beda-beda tipis dengan musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti. (hlm. 167)
Cinta sejati adalah perjalanan. Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung apalagi muara. Cinta sejati memiliki siklus yang tidak pernah terhenti. (hlm. 168)
Cinta adalah perbuatan. Kau selalu bisa memberi tanpa sedikit pun rasa cinta, tetapi kau tidak akan pernah bisa mencintai tanpa selalu memberi. (hlm. 168)
Cinta adalah kebiasaan. Kau takkan bisa membayangkan betapa indah proses transformasi perasaan dari sekadarsahabat menjadi seseorang yang spesial. (hlm. 170)
Cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah adalah omong kosong. (hlm. 173)
Apapun usaha yang kau jalankan kelak, cara terbaik agar langgeng adalah berpikir sebaliknya dari orang-orang. (hlm. 182)
Di dunia ini terkadang urusan yang dicari sering kali menjauh-jauh, sebaliknya, urusan urusan yang tidak dicari malah mendekat-dekat. (hlm.184)
Cinta sejati selalu menemukan jalan. Ada saja kebetulan, nasib, takdir, atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, Khawatir, cemas, serta bebrbagai perangai norak lainnya. Tidak usahlah gulana, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya. Kebetulan yang menakjubkan. (hlm. 194)
Terkadang dalam banyak keterbatasan, kita harus bersabar menunggu rencana terbaik datang, sambil tersus melakukan apa yang bisa dilakukan. (hlm. 210)
Cinta bukan kalimat gombal, cinta adalah komitmen tidak terbatas, untuk saling mendukung, untuk selalu ada, baik senang maupun duka. (hlm. 221)
Sakit perasaan memang kadang bisa membuat badan ikut sakit. Menghela napas terasa berat, sepi di tengah keramaian, dan sebaliknya ramai di tengah kesepian. (hlm. 249)
Banyak sekali orang yang jatuh cinta lantas sibuk dengan dunia barunya itu. Sibuk sekali, sampai lupa keluarga sendiri, teman sendiri. Padahal, siapalah orang yang tiba-tiba mengisi hidup kita itu? Kebanyakan orang asing, orang baru. (hlm. 257)
Habiskan masa-masa sulit kau dengan teman terbaik, maka semua akan lebih ringan. (hlm. 258)
Tidak ada yang mudah dalam cinta. Biarkan semua mengalir seperti air di sungai. Maka kita lihat, apakah aliran perasaan itu akan semakin membesar hingga tiba di muara atau habis menguap di tengah perjalanan. (hlm. 278)
Sepanjang kita punya mimpi, punya rencana walau kecil, tapi masuk akal, tidak boleh sekalipun rasa sedih, rasa tidak berguna itu datang mengganggu pikiran. (hlm. 282)
Cinta selalu saja misterius. Jangan diburu-buru, atau kau akan merusak jalan ceritanya sendiri. (hlm. 288)
Tip ngedate ala bang Togar (hlm. 293):
Ø  Pertama, jadilah diri sendiri. Alangkah banyaknya pencinta yang justru berusaha tampil hebat, keren, gagah, sampai dia lupa menjadi dirinya sendiri.
Ø  Kedua, jadilah pendengar yang baik.
Ø  Ketiga, pusatkan perhatian pada dirinya.
Ø  Tutuplah dengan kalimat, “Aku senang menghabiskan waktu bersamamu.”
Jangan sesekali biarkan prasangka jelek, negatif, buruk, apalah namanya itu muncul di hati kita. Selalulah berprasangka positif. Selalulah berharap yang terbaik.  Karena dengan berprasangka baik saja hati masih sering ketar-ketir memendam duga, menyusun harap, apalagi dengan prasangka negatif, tambah kusut pikiran kita. (hlm. 299)
Perasaan tidak sesederhana satu ditambah satu sama dengan dua. Bahkan ketika perasaan itu sudah jelas bagai bintang di langit, gemerlap indah tak terkira, tetap saja dia bukan rumus matematika. Perasaan adalah perasaan. (hlm. 355)
Rasa sedih melihat teman baik menangis ternyata bisa berubah menjadi semangat menggebu tiada tara. Rasa pilu melihat teman baik teraniaya, bahkan bisa mengubah seorang pengecut menjadi panglima perang. (hlm. 362)
Rasa senang, rasa sedih sedih, itu semua soal pengharapan. Tetaplah tersenyum lega. (hlm. 379)
Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis, apalagi dipamer-pamerkan. semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugesti, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu. (hlm. 428)
Cinta tidak pernah bisa dipaksakan, bukan? (hlm. 429)
Cinta hanyalah segumpal perasaan dalam hati. Sama halnya dengan perasaan senang, gembira, dan sedih. Bedanya, kita selama ini terbiasa mengistimewakan gumpalan perasaan yang disebut cinta. Kita beri dia porsi lebih penting, kita besarkan, terus menggmpal, membesar. Coba saja kaucueki, kaulupakan, maka gumpal cinta itu juga dengan cepat layu. (hlm. 430)
Cinta bisa tumbuh kapan saja, hanya butuh sedikit membuka hati. (hlm. 476)
Ketika situasi memburuk, ketika semua terasa berat dan membebani, jangan pernah merusak diri sendiri. (hlm. 479)


Pergi (Part 1)

Tentang sebuah perjalanan, tinggal adalah sementara, sedangkan pergi adalah abadi - cepat atau lambat. Bukannya takcinta, namun takdir adalah segalanya.

(PepperEarth, 13 April 2019)

Sabtu, 13 April 2019

Pergi (Part 2)

Pergi memang meninggalkan, namun tidak berarti melupakan. Kita masih bisa bersua meski hanya lebih sering menyatu dalam kenangan.

(PepperEarth, 13 April 2019)

Jumat, 17 Agustus 2018

Hikayat Si Miskin



Ini hikayat ceritera orang dahulu kala sekali peristiwa Allah SWT menunjukkan kekayaa-Nya kepada hamba-Nya. Maka adalah seorang miskin laki-bini berjalan mencari rizqinya berkeliling negara antah berantah. Adapun nama raja di dalam negara itu maharaja Indera Dewa. Namanya terlalu amat besar kerajaan baginda itu. Beberapa raja-raja di tanah Dewa itu takluk kepada baginda dan mengantar upeti kepada baginda pada tiap-tiap tahun.
Hatta, maka pada suatu hari baginda sedang ramai dihadapi oleh segala raja-raja, menteri, hulubalang, rakyat sekalian di penghadapannya. Maka Si Miskin itupun sampailah ke penghadapan itu. Setelah dilihat oleh orang banyak, Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing rupanya. Maka orang banyak itupun ramailah ia tertawa seraya mengambil kayu dan batu. Maka dilemparilah akan si miskin itu kena tubuhnya habis bengkak-bengkak dan berdarah. Maka segala tubuhnya pun berlumur dengan darah. Maka orang pun gemparlah.
Maka titah baginga, “Apakah yang gempar di luar itu?”
Sembah segala raja-raja itu, “Ya tuanku Syah Alam, orang melempar Si Miskin tuanku”.
Maka titah baginda, ”Suruh usir jauh-jauh!”
Maka diusir oranglah akan Si Miskin hingga sampailah ke tepi hutan. Maka orang banyak itu pun kembalilah. Maka hari pun malamlah. Maka baginda pun berangkatlah masuk ke dalam istanannya itu. Maka segala raja-raja dan menteri, hulubalang rakyat sekalian itu pun masing-masing pulang ke rumahnya. Adapun akan Si Miskin itu apabila malam ia pun tidurlah di dalam hutan itu. Setelah siang hari maka ia pun pergi berjalan masuk ke dalam negeri mencari rizqinya. Maka apabila sampailah dekat kepada kampung orang. Apabila orang yang empunya kampung itu melihat akan dia. Maka diusirlah dengan kayu. Maka Si Miskin itu pun larilah ia lalu ke pasar. Maka apabila dilihat oleh orang pasar itu Si Miskin datang, maka masing-masing pun datang ada yang melontari dengan batu, ada yang memalu dengan kayu. Maka Si Miskin itu pun larilah tunggang langgang, tubuhnya habis berlumur dengan darah. Maka menangislah ia berseru-seru sepanjang jalan itu dengan tersengat lapar dahaganya seperti akan matilah rasanya. Maka ia pun bertemu dengan tempat orang membuangkan sampah-sampah. Maka berhentilah ia di sana. Maka dicaharinyalah di dalam sampah yang tertimbun itu barang yang boleh dimakan. Maka didapatinyalah ketupat yang sudah basi dibuangkan oleh orang pasar itu dengan buku tebu lalu dimakannya ketupat yang sebiji itu laki-bini. Setelah sudah dimakannya ketupat itu maka barulah dimakannya buku tebu itu. Maka adalah segar sedikit rasanya tubuhnya karena beberapa lamanya tiada merasai nasi. Hendak mati rasanya. Ia hendak meminta ke rumah orang takut. Jangankan diberi orang barang sesuat hampir kepada rumah orang itu pun tiada boleh. Demikianlah Si Miskin itu sehari-hari.
Hatta, maka hari pun petanglah. Maka Si Miskin pun berjalanlah masuk ke dalam hutan tempatnya sediakala itu. Di sanalah ia tidur. Maka disapunyalah darah-darah yang di tubuhnya tiada boleh keluar karena darah itu sudah kering. Maka Si Miskin itupun tidurlah di dalam hutan itu. Setelah pagi-pagi hari maka berkatalah Si Miskin kepada isterinya, ”Ya tuanku, matilah rasaku ini. Sangatlah sakit rasanya tubuhku ini”. Maka tiadalah beradaya lagi hancurlah rasanya anggotaku ini. Maka ia pun tersedu-sedu menangis. Maka terlalu belas rasa hati isterinya melihat laku suaminya demikian itu. Maka ia pun menangis pula seraya mengambil daun kayu lalu dimamahnya. Maka disapukannyalah seluruh tubuh suaminya sambil ia berkata, ”Diamlah, tuan jangan menangis. Sedihlah dengan anteng kita. Maka selaku ini ada pun akan si miskin itu aslinya daripada raja keinderaan. Maka kena sumpah Batara Indera maka jadilah ia demikaian itu. Maka adalah suaminya itu pun segarlah sedikit tubuhnya. Setelah itu maka suaminya pun masuk ke dalam hutan mencari ambat yang muda yang patut dimakannya. Maka dibawanyalah kepada isterinya. Maka demikianlah laki-bini.
Hatta beberapa lamanya maka isteri Si Miskin itu pun hamillah tiga bulan lamanya. Maka isterinya menangis hendak makan buah mempelam yang ada di dalam taman raja itu. Maka suaminya itupun terketukkan antingnya tatkala ia di Keinderaan menjadi raja tiada ia mau beranak. Maka sekarang telah mudhorot. Maka baharulah hendak beranak seraya berkata kepada isterinya, “Ayo, hay adinda tuan hendak membunuh kakandalah rupanya ini tiadakah tuan tahu akan hal kita yang sudah lalu itu jangankan hendak meminta barang suatu. Hampir kepada kampung orang tiada boleh”. Setelah didengar oleh isterinya kata suaminya demikian itu, maka makinlah sangat ia menangis. Maka kata suaminya, “Diamlah tuan, jangan menangis! Berilah kakanda pergi mencaharikan tuan buah mempelam itu, jikalau dapat oleh kakanda akan buah mempelam itu kakanda berikan pada tuan”. Maka isterinya itu pun diamlah. Maka suaminya itu pun pergilah kepasar mencahari buah mempelam itu. Setelah sampai di kedi orang berjual buah mempelam. Maka si Miskin itu pun berhentilah di sana.
Hendak pun dimintanya takut ia akan dipalu orang. Maka kata orang yang berjualan buah mempelam itu, “Hai miskin. Apa kehendakmu?” maka sahut Si Miskin, “Jikalau ada belas dan kasihan serat Rahim tuan akan hamba orang miskin hamba ini minta diberikan yang sudah terbuang itu. Hamba hendak memohonkan buah mempelam tuan yang sudah busuk itu barang sebiji sahaja tuan”. Maka terlalu belas hati sekalian orang pasar itu yang mendengar kata si Miskin. Seperti hancurlah rasa hatinya maka ada yang memberi buah mempelam ada yang memberikan nasi ada yang memberikan kain baju ada yang memberikan buah-buahan. Oleh anak yang daid makan oleh isterinya itu. Maka si Miskin itupun heranlah akan dirirnya oleh sebab diberi orang pasar itu berbagai-bagai jenis pemberian. Adapun akan dahulunya jangankan diberinya barang suatu hampirpun tiada boleh. Habislah dilemparnya dengan kayu dan batu. Setelah sudah ia berpikir dalam hatinya demikian itu, maka ia pun kembalilah ke dalam hutan mendapatkan isterinya. Maka katanya, “Inilah tuan, buah memepelam dan segala buah-buahan dan makan-makanan dan kain baju. Itu pun diinjakkannyalah isterinya seraya menceriterakan hal ihwalnya tatkala ia di pasar itu.
Maka isterinya pun menangis tiada mau makan jikalau bukan buah mempelam yang di dalam taman raja itu. Biarlah aku mati sekali. Maka terlalulah sebal hati suaminya itu melihatkan akan kelakuan isterinya itu seperti orang yang hendak mati. Rupanya tiadalah berdai lagi. Maka suaminya itu pun pergilah menghadap maharaja Indera Dewa itu. Maka baginda itupun sedang ramai dihadap oleh segala raja-raja. Maka si Miskin datanglah. Lalu masuk kedalam sekali. Maka titah baginda, “Hai Miskin, apa kehendakmu. Maka sahut si Miskin, ada juga tuanku lalui sujud kepalanya lalu diletakkannya ketanah, “Ampun tuanku, beribu-ribu ampun tuanku jikalau ada karenanya dauli Syah Alam akan patulah hamba orang yang hina ini hendaklah memohonkan daun mempelam sah alam yang sudah gugur ke bumi itu barangkali tuanku. Maka titah baginda, “Hendak engkau buatkan apa daun mempelam itu?”  Maka sembah si Miskin, “Hendak dimakan tuanku.” Maka titah baginda, “Ambilkanlah barang setangkai berikan kepada si Miskin ini”.
Maka diambilakn oranglah diberikan kepada si Miskin itu. Maka diambillah oleh si Miskin itu seraya menyembah kepada baginda itu. Lalu keluar ia berjalan kembali. Setelah itu maka baginda pun berangkatlah masuk ke dalam istananya. Maka segala raja-raja dan menteri hulu-balang rakyat sekalian itu pun masing-masing pulang ke rumahnya arkin. Maka si Miskin pun sampailah kepada tempatnya. Setelah dilihat oleh isterinya akan suaminya datang itu membawa buah mempelam setangkai. Maka ia tertawa-tawa. Seraya disambutnya lalu dimakannya.
Maka adalah antaranya tiga bulan lamanya. Maka ia pun menangis pula hendak makan nangka yang di dalam taman raja itu juga. Maka si Miskin itu pun pergilah pula memohonkan kepada baginda itu. Maka sujudlah pula ia kepada baginda. Maka titah baginda, “Apa pula kehendamu hay miskin?” Maka sahut si Miskin, “Ya tuanku, ampun beribu-ribu ampun,” sahut ia sujud kepalanya lalu diletakkannya ke tanah. Sahut ia berkata pula, “Hamba ini orang yang miskin. Hamba minta daun nangka yang gugur ke bumi, barang sehelai. Maka titah baginda, ”Hay Miskin, hendak kau buatkan apa daun nagka? Baiklah aku beri buahan barang sebiji” Maka diberikan kepada si Miskin itu. Maka ia pun sujud seraya bermohon kembali mendapatkan isterinya itu.
Maka ia pun sampilah setelah dilihat oleh isterinya itu, suaminya datang itu. Maka disambutnya buah nangka itu. Lalu dimakan oleh isterinya itu.  Adapun selama isterinya si Miskin hamil maka banyaklah makn-makanan dan kain baju dan beras padi dan segala perkakas-perkakas itu diberi orang kepadanya.
Hatta maka dengan hal yang demikian itu maka genaplah bulannya. Maka pada ketika yang baik dan saat yang sempurna pada malam empat belas hari bulan. Maka bulan itu pun sedang terang. Maka pada ketika itu isteri si Miskin itu pun beranaklah seorang anak laki terlalu amat baik parasnya dan elok rupanya. Maka dinamainya akan anaknya itu Markaromah artinya anak didalam kesukaran. Maka dipeliharakannyalah anaknya itu. Maka terlalu amat kasih sayangnya akan anak itu tiada boleh bercari barang seketika jua pun dengan anaknya Markaromah itu.
Hatta, maka dengan takdir Allah SWT menganugarahi kepada hambanya. Maka si Miskin pun menggalilah tanah hendak berbuat tempatnya tiga beranak itu. Maka digalinyalah tanah itu hendak mendirikan tiang teratak itu. Maka tergalilah kepada sebuah telaju yang besar berisi emas terlalu banyak. Maka isterinya pun datanglah melihat akan emas itu. Seraya berkata kepada suaminya, “Adapun akan emas ini sampai kepada anak cucu kita sekalipun tiada habis dibuat belanja. Maka terlalu sukacita hatinya laki isteri itu. Maka oleh isterinya diambilnya emas itu dibawanya kepada suaminya. Maka si Miskin itupun pergilah kepada saudagar-saudagar yang di dalam negeri antah-berantah itu. Setelah itu maka bertemulah ia dengan saudagar itu. Maka segeralah ia ditukar oleh saudagar itu. Seraya katanya, “Marilah tuan hamba duduk dekat hamba di sini, dari mana tuan datang ini dan apakah maksud tuan hamba datang kepada hamba ini?” Maka kata si Miskin itu seraya tersenyum, “Ada juga kehendak hamba ini kepada tuan hamba jikalau tuan hamba boleh menolong akan hamba katakanlah. Maka sahut saudagar itu, “Katakanlah hajat tuan hamba.”


Nenek Pakande


Nenek Pakande
Alkisah di suatu daerah di Soppeng (sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan), terdapat suatu desa dengan rakyatnya sangat bersahabat, senantiasa hidup tentram, damai, dan sejahtera. Hampir atau bahkan seluruh masyarakat yang tinggal di daerah itu bermata pencaharian sebagai seorang petani. Setiap hari mereka berbondong-bondong ke sawah untuk bertani di lahan mereka masing-masing. Pada suatu ketika, desa yang terkenal tentram tersebut terusik oleh seorang nenek tua yang rambutnya berwarna putih memakai konde di kepalanya, wajah yang keriput, dengan badan yang setengah membungkuk, lalu memakai sarung batik dan kemeja. Sekilas terlihat nenek itu hanyalah seorang nenek tua yang biasa-biasa saja yang sedang mencari tempat tinggal.
Tapi siapa yang menyangka bahwa nenek tua itu adalah seorang siluman yang suka memangsa daging manusia, terlebihnya daging anak-anak. Dengan karakternya yang dikenal seperti itu, maka warga setempat pun menamai nenek itu dengan sebutan Nenek Pakande (diambil dari bahasa Bugis yaitu kata manre yang berarti makan). Biasanya Nenek Pakande itu berkeliaran keliling kampung untuk mencari mangsa pada hari ketika sang fajar sudah mulai tenggelam.
Suatu sore saat hari sudah mulai gelap, ada sepasang saudara kakak beradik yang tengah seru bermain di sekitar halaman rumah mereka.
“Nak, ayo cepat masuk ke rumah ini sudah malam!” Seru ibunya dari balik pintu.
Akan tetapi, kedua bersaudara itu sedikit pun tak menghiraukan apa yang diperintahkan oleh ibunya dan kemudian kembali lagi bermain. Mereka hanya memanggap perintah ibunya hanyalah angin yang berhembus begitu saja. Tidak lama kemudian, ibu dari kedua anak itu pun sejenak menghampiri kedua anaknya dan menyuruhnya masuk, tetapi kedua anak itu tetap saja membandel. Dan ibu itu pun kembali masuk ke rumahnya dan membiarkan anak-anaknya bermain.
Tanpa ibu itu menyadari bahwa anaknya sedang dipantau dari jarak jauh oleh Nenek Pakande. Melihat suasana yang sangat sunyi, tak ada seorang pun yang berlalu-lalang di sekitar tempat itu. Nenek Pakande mempergunakan waktu itu untuk menculik kedua anak tersebut lalu dijadikannya mangsa.
Berselang waktu kemudian, ibu dua orang anak tersebut keluar dan didapatinya kedua anaknya sudah tak ada di tempatnya lagi. Lalu ia mencari ke seluruh penjuru rumahnya tetapi ia tak menemukan anaknya sekali pun. Ia pun bergegas keluar rumah sambil teriak minta tolong.
“Tolong…..tolong…..tolong….. Anakku hilang!” dengan suara yang tersedu-sedu sambil menangis.
“Ada apa Bu? Apa yang terjadi dengan anak Ibu?” sapa salah satu warga setempat.
Lalu ibu itu pun menceritakan apa-apa yang telah terjadi dengan anak-anaknya kepada bapak itu. Kemudian bapak itu segera memanggil warga untuk membantunya mencari. Lambat laun pun warga sudah terkumpul banyak, siap untuk melakukan pencarian menelusuri kampung-kampung dengan alat penerangan seadanya.
Hingga larut malam pun tiba, kedua anak tersebut tak kunjung jua ditemukan. Akhirnya kepala kampung yang memimpin pencarian tersebut meminta pencarian itu dihentikan sementara.
Keesokan harinya saat pencarian akan dilakukan kembali, tiba-tiba ada laporan dari seorang warga yang kehilangan bayinya, ketika saat itu orang tua bayi tersebut sedang tertidur nyenyak. Warga setempat pun semakin resah dengan kejadian yang saat ini menimpa desa mereka.
Ketika malam tiba, para orang tua tidak bisa menutup kedua kelopak matanya karena dihantui rasa cemas. Mereka harus memantau anak-anak mereka serta menjaganya hingga pagi menjemput.
Saat para warga berkumpul di suatu titik di desa mereka, mereka menceritakan setiap kekhawatiran yang mereka alami saat malam hari tiba. Mereka bingung, siapa dalang di balik penculikan misterius ini.
Seketika ada seorang warga yang mengusulkan untuk pergi ke rumah Nenek Pakande. Warga setempat tahu bahwa Nenek Pakande adalah seorang pemangsa anak-anak.
“Kenapa kita hanya berdiam diri saja di sini, kenapa kita tidak langsung saja beramai-ramai ke rumah Nenek Pakande itu? Karena besar kemungkinan dia yang telah menculik anak-anak yang ada di desa kita.”
“Hei, bukankah Nenek Pakande itu adalah seseorang yang sangat sakti karena dia memiliki kekuatan gaib yang sulit untuk ditaklukkan.” tentang salah seorang warga lainnya.
“Ya benar juga, Nenek Pakande adalah seorang siluman yang sangat sakti, tak ada seorang manusia biasa pun yang bisa mengalahkan kesaktiannya. Setauku Nenek Pakande hanya takut kepada sosok raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Tetapi sekarang entah di mana raksasa itu berada. Kabar serta seluk beluk tubuhnya pun tak pernah lagi terdengar dan terlihat.” jawab seorang warga lagi.
Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale adalah sesosok raksasa yang tingginya diperkiran tujuh hasta dengan badan yang sangat besar, dia juga suka memakan daging manusia. Akan tetapi, dia adalah raksasa yang baik hati, hanya memakan manusia yang bersifat buruk dan manusia yang tidak disukainya.
“Lantas apa yang harus kita perbuat sekarang untuk memusnahkan Nenek Pakande itu?” melanjutkan pertanyaan.
Tak seorang pun dari mereka yang ingin angkat bicara, suasana saat itu tiba-tiba menjadi diam, penuh kecemasan dan kekhawatiran, dan mereka kebingungan tentang masalah itu.
Di tengah-tengah kecemasan tersebut, seorang pemuda yang berdiri di tengah-tengah sekumpulan warga pun angkat bicara. Pemuda tersebut bernama La Beddu, dia adalah pemuda yang cerdik, pandai, lagi berani. Dia dikenal warga sebagai pemuda yang ramah, taat beribadah, dan suka membantu orang yang sedang tertimpa masalah.
“Maaf para warga desa jika saya lancang, tapi saya punya suatu cara untuk mengenyahkan Nenek Pakande dari desa kita.”
Suasana pun menjadi hening seketika. Timbullah ribuan harapan yang tertimbun di dalam diri setiap warga, tapi tidak sedikit pula warga yang memandangnya sebelah mata dengan pandangan yang merendahkan karena mereka tidak yakin bahwa La Beddu bisa mengalahkan Nenek Pakande.
“Hai La Beddu, apa kuasamu? Kamu hanyalah pemuda biasa yang tidak memiliki kesaktian sedikit pun dibandingkan dengan Nenek Pakande yang kesaktiannya sangat kuat.” jawab seorang warga selaku merendahkan.
La Beddu kemudian diam dan tersenyum dan melanjutkan pembicaraan dengan nada yang tenang.
“Tidak selamanya kesaktian harus dilawan dengan kesaktian pula. Kita sebagai manusia diberi akal untuk berpikir.” jelas La Beddu.
“Apa sekiranya maksudmu itu La Beddu? Apakah kamu tak takut sedikit pun dengan Nenek Pakande?” tanya warga tersebut sekali lagi.
“Maksud saya, kita bisa melawan Nenek Pakande tidak harus ketika kita memiliki kesaktian yang kuat. Kita bisa melawannya dengan akal cerdik kita. Jika kita saling bahu-membahu melawannya, yakinlah bahwa kita bisa mengenyahkannya. Maka dari itu siapkan saya beberapa ekor belut dan kura-kura, salaga (garu), busa sabun satu ember, kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu besar. Setelah itu, kumpulkanlah semua hewan dan benda-benda itu di rumah saya.” seru La Beddu.
“Untuk apa hewan beserta benda-benda tersebut La Beddu?” tanya warga lainnya.
“Nantilah kalian mengetahuinya setelah apa yang kuperintahkan telah terkumpul semua di rumahku.” jawab La Beddu.
Seketika pun warga membubarkan diri mereka masing-masing dan segera mencari apa yang diperintahkan oleh La Beddu. Ada yang mencari belut di sawah-sawah, kura-kura di sungai, dan yang lainnya sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu ember. Setelah semuanya terkumpul, barulah mereka menuju ke rumah La Beddu dan mengumpulkan semua apa yang telah diperintahkannya.
“Hai La Beddu, sekarang jelaskan kepada kami apa guna barang yang telah engkau suruhkan kepada kami!” seru seorang warga.
La Beddu pun kemudian menjelaskan apa guna dari barang-barang tersebut. Selaga akan dia jadikan menyerupai sisir dan kura-kura sebagai kutu raksasa. Busa sabun ia akan jadikan menyerupai air liur, kulit rebung sebagai terompet atau pembesar suara agar menyerupai suara besar seorang raksasa. Adapun belut dan batu besar akan di tempatkan di depan pintu dan di bawah tangga. Itu semua aku perintahkan agar kita bisa mengelabui Nenek Pakande dengan menyamar sebagai raksasa.
Pada siang hari, La Beddu beserta warga pun menyusun rencana untuk mengelabui  Nenek Pakande. Dua orang utusan warga diperintahkan untuk menaruh belut dan batu besar di depan pintu dan di bawah tangga kemudian bersembunyi di bawah rumah panggung.
Setelah matahari sudah mulai tak nampak lagi dan hari sudah mulai gelap, para warga mengunci rapat-rapat pintu mereka dan memadamkan lampu pelita mereka. Ini adalah sebagian dari rencana La Beddu karena ada sebuah rumah yang terletak paling ujung di perkampungan mereka yang dinamakan Balla Raja, rumah itu adalah rumah panggung yang sangat besar. Di rumah itu diberikan cahaya lampu yang paling terang agar Nenek Pakande tersebut terpancing dan menuju ke rumah itu. Salah satu umpan yang lain adalah di taruhnya anak bayi di dalam suatu kamar tetapi dalam pengawasan ketat warga setempat. Sementara La Beddu bersembunyi di atas genteng.
Malam itu adalah malam Jumat, sinar rembulan sangat terang. Saat Nenek Pakande sudah mulai berkeliaran, dia heran mengapa semua lampu tak ada satu pun yang menyala, keculai rumah yang bernama Balla Raja. Nenek Pakande pun menghampiri rumah tersebut. Beberapa saat kemudian setelah Nenek Pakande tiba di depan pintu yang sangat besar, dia mencium aroma seorang bayi dari dalam rumah tersebut. Tanpa berpikir panjang, Nenek Pakande pun masuk ke dalam rumah tersebut.  Tanpa sepengetahuan Nenek Pakande, dua orang pemuda tersebut melaksanakan tugasnya dan kembali bersembunyi. Ketika dia berhadapan dengan pintu kamar yang sangat tinggi dan besar, Nenek pakande pun semakin merasakan aroma bayi tersebut.
Seketika muncullah suara misterius yang menyapa Nenek Pakande.
 “Hei Nenek Pakande, apa gerangan yang membuat engkau datang ke mari?” tanya La Beddu yang menyamar sebagai raksasa besar Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.
“Saya ingin mengambil bayi yang ada dibalik pintu besar itu. Siapa kamu?” jawab Nenek Pakande.
“Saya Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale dan saya ingin kamu pergi dari desa ini sejauh mungkin karena sudah meresahkan warga setempat.” ujar sang raksasa.
“Ahh, saya tidak percaya jikalau kamu ada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.” jawab Nenek Pakande dengan menambah beberapa langkah kakinya selaku mengacuhkan.
La Beddu pun menumpahkan seember busa sabun yang dipakainya untuk mengelabuhi Nenek Pakande sebagai air liur raksasa. Lalu memperdengarkan suara mengaumnya.
“Aku lapar Nenek Pakande, lihatlah air liurku sudah mengalir. Jika kau tak segera enyah dari hadapanku, maka kau akan menjadi santapanku.”
Dengan dihantui rasa cemas, Nenek Pakande pun berkata lagi, “Hihihi, saya tidak percaya denganmu, pasti kamu hanyalah orang biasa yang menyamar sebagai Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.”
La Beddu pun menjatuhkan salaga yang dibuatnya menyerupai sisir yang besar dan kura-kura secara beruntun.
“Ah.. Kutu ini banyak menggangguku dan membuat kepalaku gatal saja.” kata Sang Pemuda yang mengaum.
“ Nenek Pakande, kau jangan membuatku jadi lebih marah lagi.” lanjut La Beddu.
Melihat kura-kura dan salaga yang jatuh ke lantai, nyali Nenek Pakande akhirnya ciut juga.
Tanpa menunggu lama, Nenek pakande pun lari menuju pintu keluar. Tanpa dilihatnya, dia menginjak seekor belut dan terpeleset jatuh hingga anak tangga yang paling akhir dan kepalanya terbentur pada batu besar yang telah disiapkan. Akan tetapi, Nenek Pakande tetap memaksakan diri untuk bangkit kembali. Dengan kesaktiannya, Nenek Pakande pun terbang ke bulan. Sebelum terbang ke bulan, Nenek Pakande meninggalkan suatu pesan, “Saya akan memantau anak kalian dari atas sana dengan cahaya rembulan di malam yang sangat gelap. Suatu saat nanti, saya akan kembali memangsa anak-anak kalian.”
Maka dari itu, orang tua sekarang banyak yang menasehati anaknya jangan keluar jika sudah malam, nanti kalian di makan Nenek Pakande.

Rabu, 27 Juni 2018

27 Juni Ke-30

27 Juni Pukul 00.00

Waktu adalah anugerah terindah dari Tuhan. Meski ia tidak dapat diputar kembali, namun Tuhan selalu memberi kesempatan untuk berbenah diri.

Waktu adalah ujian. Ia akan terus berlalu tanpa pernah peduli, bahagiah atau sedihkah engkau. Namun, kita harus tetap peduli dengan diri sediri (memantaskan diri) karena waktu tidak pernah menunggu.

Hanya kuasa Tuhan yang dapat menuntun, membimbing, dan meneguhkan hati agar langkah tak mangkir dari titah-Nya. Semoga aku tak pernah letih merayu agar selalu dalam lindungan-Nya hingga aku benar-benar kembali.

Pepper Earth, 27 Juni 2018

Minggu, 17 Juni 2018

Sesal

Tersesat dalam labirin rasa
Rindu hanyalah semu yangi membayang
Yang nyata hanyalah sesal yang membuncah

Entah sampai kapan

Wanua Massengereng, 17 Juni 2018
(Ahad, 3 Syawal 1439 Hijriah)